Senin, 30 Januari 2017

Pendidikan dan Pembangunan

If you plan for a year, plant a seed. If for ten years, plant a tree. If for a hundred years, teach the people. When you sow a seed once, you will reap an single harvest. When you teach the people, you will reap a hundred harvests".
(7th Century BC Chinese philosopher Guan Zhong)

Isu kependudukan telah lama menjadi topik permasalahan dalam perekonomian dunia. Selama bertahun-tahun para ekonom dan ilmuwan sosial memperdebatkan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk. Mereka yang berpandangan bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat bukan merupakan masalah memberikan argumen: (a) pertumbuhan penduduk bukanlah sebuah masalah melainkan keterbelakangan pembangunan lah yang menjadi pokok masalah. (b) pengurangan pertumbuhan penduduk adalah konspirasi dari negara-negara kapitalis untuk menjaga negara-negara berkembang tetap bergantung terhadap mereka. (c) pertumbuhan penduduk merupakan hal yang diinginkan bagi banyak negara berkembang. Pertumbuhan penduduk bagi kalangan ini merupakan suatu hal yang positif karena penduduk adalah subjek pembangunan sehingga perekonomian diharapkan dapat berkembang bila jumlah tenaga kerja yang dimiliki banyak.
Sebaliknya beberapa kalangan meragukan apakah benar jumlah penduduk yang besar merupakan  modal dan aset, ataukah sebaliknya penduduk justru menjadi beban bagi pembangunan. Hal ini dikarenakan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka pemenuhan akan kebutuhan penduduk tersebut semakin lama akan semakin banyak . Pandangan pesimis seperti ini didukung oleh teori Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sementara pertumbuhan bahan makanan mengikuti deret hitung. Kesimpulan dari pandangan pesimis ini adalah pada akhirnya bukan  kesejahteraan yang didapat dengan pertumbuhan penduduk tapi justru kesengsaraan yang akan ditemui jika jumlah penduduk tidak dikendalikan dengan baik.
Selain itu, isu kependudukan menarik minat para ekonom dikarenakan penduduk merupakan sumber daya dalam pembangunan. Dan alokasi serta peningkatan sumber daya adalah subjek utama ilmu ekonomi. Ketidakseimbangan komposisi penduduk suatu negara ataupun daerah yang diimbangi dengan produktifitas penduduk akan mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Penduduk merupakan objek pembangunan sekaligus subjek pembangunan, sehingga permasalahan kependudukan dapat mempengaruhi kondisi perekonomian baik pembangunan ekonomi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Todaro dan Smith (2015) mengungkapkan bahwa indikator pembangunan sebuah negara dilihat dari pendapatan perkapita, kesehatan, dan pendidikan. Ketiga hal tersebut tentu dipengaruhi oleh bagaimana jumlah dan kualitas penduduk yang dimiliki. Oleh karena itu, penduduk dapat dianggap sebagai modal atau sebaliknya sebagai beban tergantung pada mutu/kualitas penduduk itu sendiri.
Teori modern dari pertumbuhan ekonomi menekankan peran utama modal manusia (human capital), khususnya pendidikan dan kesehatan. Namun, hubungan ini tidak terbatas pada tingkat pertumbuhan pendapatan saja. Peningkatan mutu modal manusia dapat menaikkan produktifitas pekerja tetapi kenaikan produktifitas pekerja belum tentu berasal dari kenaikan mutu modal manusia. Dengan disertakannya unsur mutu modal manusia dalam penawaran tenaga kerja, maka tenaga kerja dapat diproduksi dengan lebih terarah. Oleh karena itu, adanya peningkatan mutu modal manusia maka penduduk dapat ditempatkan sebagai aset dan modal pembangunan.
Hubungan antara pendidikan dan pembangunan ekonomi telah lama diakui dalam literatur pembangunan. Di satu sisi, pendidikan dipandang sebagai produk dari suatu proses pembangunan yang berkembang dengan sendirinya. Di sisi lain, pendidikan juga dianggap masukan (input) penting dalam proses pembangunan itu sendiri. Meskipun pendidikan dianggap penting dalam literatur pembangunan, namun pembangunan seringkali lebih terfokus pada pertumbuhan pendapatan dengan mengesampingkan aspek pembangunan lainnya,  salah satunya pendidikan. Banyak hasil penelitian menyarankan bahwa pendidikan tinggi adalah hal yang relevan bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang dan berpendapatan rendah, terutama pembangunan jangka panjang. Sebaliknya Bank Dunia dan organisasi pembangunan internasional lainnya berpendapat untuk fokus pada pendidikan dasar terlebih dahulu.
Pendidikan juga berkorelasi dengan beberapa hasil pembangunan sosial seperti kesehatan, fertilitas, pendidikan anak-anak, kemampuan untuk mengembangkan diri, belajar atau mengadaptasi teknologi baru untuk lingkungan setempat, pembangunan institusi/kelembagaan dan rasa kebangsaan yang pada akhirnya dapat mengurangi kemungkinan konflik sipil dan menjaga stabilitas politik di suatu negara. Orang-orang berpendidikan, lebih cepat untuk belajar  serta mengadopsi teknologi baru dan mereka cenderung menjadi inovator dalam suatu negara. Selain itu, pendidikan khususnya pendidikan yang berkualitas dan tinggi, lebih memungkinkan untuk mendobrak hambatan tradisional, meningkatkan produktifitas, kesejahteraan penduduk yang pada akhirnya akan menjadi modal dalam pembangunan. Namun sayangnya, aspek pembangunan manusia terkadang belum mendapat perhatian serius dalam literatur pembangunan ekonomi.
Terkait peran pendidikan dalam proses pembangunan, untuk mendapatkan gambaran secara nyata maka disajikan data empiris parameter pendidikan dan pembangunan di negara Australia dan Vietnam. Berdasarkan laporan pembangunan manusia 2015 yang dipublikasikan United Nations Development Programme (UNDP) dalam Human Development Report 2015 - Work for Human Development, Australia berada pada peringkat kedua dalam capaian pembangunan manusia pada tahun 2014 setelah Norwegia yang berada pada urutan pertama. Sementara itu Vietnam berada pada peringkat ke 116 dari 187 negara yang menjadi objek observasi UNDP. Kedua negara ini dinilai penulis sebagai contoh negara yang dapat memberikan gambaran peran pendidikan dalam kesuksesan proses pembangunan di suatu negara.
Pencapaian pembangunan pendidikan di Australia dan Vietnam akan dibandingkan menggunakan indikator rata-rata lama sekolah (mean years of schooling) dan indeks pendidikan (education index). Rata-rata lama sekolah didefinisikan sebagai rata-rata jumlah tahun pendidikan yang diterima oleh penduduk berusia 25 tahun atau lebih yang dikonversi dari tingkat pencapaian pendidikan menggunakan durasi resmi setiap tingkat. Indeks pendidikan adalah rata-rata dari rata-rata tahun lama sekolah (orang dewasa) dan tahun harapan sekolah (anak-anak) (Expected years of schooling), yang dinyatakan dalam indeks yang diperoleh dengan skala maxima bersama. Kedua indikator tersebut digambarkan dalam grafik pada grafik 1 dan grafik 2.
Pada grafik 1 terlihat bahwa kedua negara memiliki ketimpangan yang tinggi dalam capaian rata-rata lama sekolah penduduknya. Nilai selisih rata-rata lama sekolah antara kedua negara tersebut pada tahun 2014 mencapai 5,5 tahun dimana penduduk Australia secara rata-rata memperoleh pendidikan selama 13 tahun sementara di Vietnam hanya mencapai 7,5 tahun. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penduduk Australia secara rata-rata dapat menempuh pendidikan sampai dengan jenjang universitas (pendidikan tinggi). Sementara tingkat pendidikan penduduk Vietnam secara rata-rata hanya mencapai level menengah pertama (lower secondary education).


Indeks pendidikan pada kedua negara juga menunjukkan perbedaan nilai yang sangat signifikan. Indeks pendidikan Australia telah mencapai angka 93,2 persen pada tahun 2014 atau dapat dikatakan hampir sempurna. Sementara indeks pendidikan Vietnam baru mencapai 57,9 persen pada tahun 2014. Akan tetapi jika dilihat dari series data kedua negara, jarak yang terbentuk perlahan-lahan semakin mengecil dikarenakan peningkatan indeks pendidikan Vietnam yang lebih besar dibandingkan Australia. Hal ini karena angka indeks pendidikan di Australia yang sudah sangat tinggi sehingga laju pertumbuhannya berjalan lambat.
Perbedaan capaian pendidikan ini tentunya memberikan dampak yang berbeda terhadap pembangunan di kedua negara. Kualitas pendidikan yang sudah sangat tinggi di Australia merupakan mutu modal manusia yang sangat baik dalam meningkatkan produktifitas penduduknya khususnya dalam pembangunan ekonomi. Selain pembangunan ekonomi, kualitas mutu modal manusia yang tinggi juga akan memberikan dampak yang positif pada pembangunan sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Salah satu indikator pembangunan ekonomi yang dapat diukur dan dibandingkan secara empiris adalah produk domestik bruto (gross national product) per kapita. nilai produk domestik bruto perkapita penduduk Australia dan Vietnam dalam dolar per tahun disajikan pada grafik 3 dibawah ini.




Grafik 3 memperlihatkan bahwa penduduk Australia memiliki PDB perkapita yang jauh diatas PDB perkapita penduduk Vietnam. Nilai PDB perkapita di kedua negara menunjukkan perbedaan produktifitas penduduk yang sangat tinggi diantara keduanya. Penduduk Australia yang memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik,  memiliki PDB perkapita yang jauh melebihi penduduk Vietnam. Perbedaan produktivitas yang sangat tinggi diantara kedua negara ditunjukkan dengan perbandingan pendapatan per kapita mencapai satu berbanding delapan. Data tahun 2013 menunjukkan PDB perkapita Vietnam hanya sebesar $5.124,5 per kapita per tahun sementara PDB per kapita Australia mencapai $42.831,1 per kapita per tahun.
Berdasarkan ulasan data empiris di kedua negara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam peningkatan mutu modal manusia di suatu negara. pembangunan mutu modal manuasia di suatu negara berbanding lurus (positif) dengan pembangunan ekonomi negara tersebut. Pada akhirnya penduduk yang memiliki mutu modal manusia akan memiliki produktifitas yang baik sehingga tidak akan menjadi beban melainkan akan menjadi aset dan modal dalam pembangunan.

Human being represents hands to work, and not just another mouth to feed”.
President of the United States, George Bush (1991)










DAFTAR PUSTAKA

Afzal, Mohammad. Population Growth and Economic Development in Pakistan. 2009. The Open Demography Journal (Licensee Bentham Open), Vol. 2, 1-7.
Ananta, Aris. 1986. Mutu Modal Manusia: Suatu Pemikiran mengenai Kualitas Penduduk. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Gyimah-Brempong, Kwabena. 2010. Education and Economic Development in Africa. Paper prepared for the 4th African Economic Conference October 27-29, 2010, Tunis, TUNISIA.
Puwanto, Nurtanio Agus. Kontribusi Pendidikan Bagi Pembangunan Ekonomi Negara. 2006. Jurnal Manajemen Pendidikan, No 02/Th II/Oktober/2006, 1-7
Rochaida, Eny. Dampak pertumbuhan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi dan keluarga sejahtera di Provinsi Kalimantan Timur. 2016. Forum Ekonomi, Volume. 18 No. 1 2016, 14-24.
Todaro, Michael P & Smith, Stephen C. 2015. Economic Development (12th Edition). London: Pearson Education, Inc.
United Nations Development Programme. 2015. Human Development Report 2015 - Work for Human Development. New York : UNDP
United Nations Development Programme. Human Development Data. http://hdr.undp.org/en/data diakses 17 Desember 2016

World Bank. http://data.worldbank.org diakses 17 Desember 2016

Senin, 24 Oktober 2016

KETENAGAKERJAAN INDONESIA

KETENAGAKERJAAN INDONESIA
 KONSEP, FENOMENA DAN KESIAPAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA MENGHADAPI BONUS DEMOGRAFI DAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN


I.              PENDAHULUAN
Pembangunan adalah suatu hal yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan suatu negara, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di negara tersebut. Pembangunan dilakukan dalam berbagai sektor kehidupan dan melibatkan kegiatan produksi. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang (Sadono Sukirno, 2003). Peranan sumber daya manusia yang meliputi jumlah dan kualitas sangat mutlak dibutuhkan dalam pembangunan.
Indonesia sebagai negara berkembang sampai saat ini masih belum bisa dipisahkan dari berbagai masalah pembangunan nasional terutama masalah sosial ekonomi serta masalah lapangan pekerjaan terutama pengangguran. Adanya pengangguran sebagai akibat dari adanya kesenjangan antara jumlah penduduk usia kerja yang masuk dalam angkatan kerja dengan ketersediaan kesempatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka yang tinggi dapat menjadi pemicu terjadinya kemiskinan dan kerawanan sosial.
Keberhasilan pembangunan biasanya diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah seharusnya diikuti dengan penciptaan lapangan kerja baru. Dengan adanya penciptaan lapangan kerja baru, permintaan tenaga kerja di pasar kerja akan meningkat secara otomatis sehingga angkatan kerja yang ada dapat diserap di dalam pasar kerja. Penyerapan angkatan kerja ini sangat berhubungan erat dengan fenomena pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.
Pengangguran selalu menjadi salah satu dari masalah yang harus dihadapi dalam setiap perencanaan pembangunan. Ketika kondisi sektor riil masih lesu dan investasi yang masuk belum terlalu menggembirakan, bahkan sebagian industri yang sudah ada di tanah air dilaporkan telah keluar, maka salah satu ancaman serius yang dihadapi pemerintah adalah kemungkinan timbulnya ledakan penganggur terdidik (Bagong Suyanto, 2014).
Salah satu isu hangat yang memiliki keterkaitan erat dengan masalah ketenagakerjaan adalah bonus demografi. Bonus demografi terjadi karena penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang menurunkan proporsi penduduk muda sehingga investasi untuk pemenuhan kebutuhannya berkurang dan sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga (John Ross, 2004). Suplai tenaga kerja yang besar meningkatkan pendapatan per kapita apabila mendapat kesempatan kerja yang produktif, akan tetapi apabila tidak dipersiapkan dengan baik justru akan menjadi demographic disaster.
Selain bonus demografi isu lain yang menjadi tantangan ketenagakerjaan di Indonesia adalah dideklarasikannya kerjasama ekonomi ASEAN yang diimplementasikan dalam program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan diberlakukannya MEA tahun 2015 akan memberikan dampak positif dan negatif di bidang ketenagakerjaan. Dampak positif MEA yaitu memacu pertumbuhan investasi baik dari luar maupun dalam negeri sehingga akan membuka lapangan pekerjaan baru. Sedangkan dampak negatifnya yaitu dengan adanya pasar barang dan jasa secara    bebas, mengakibatkan tenaga kerja asing mudah masuk dan bekerja di Indonesia sehingga mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat.
II.              PEMBAHASAN
II. A.  Konsep Dasar Ketenagakerjaan
Pendekatan teori ketenagakerjaan yang banyak digunakan di indonesia untuk data ketenagakerjaan yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 1984 menggunakan Konsep Dasar Angkatan Kerja (Standard Labour Force Concept). Konsep ini tertuang dalam International Conference of Labour Statistician (ICLS) ke-13 tahun 1982. Kegiatan BPS yang menghasilkan data untuk penghitungan indikator ketenagakerjaan adalah Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Selain SAKERNAS sumber data ketenagakerjaan juga dapat diperoleh dari hasil Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Secara umum pengukuran ketenagakerjaan dapat didekati dengan dua cara yaitu:
*        Gainful worker approach (GWA), adalah pendekatan berdasarkan kegiatan yang biasa dilakukan. Misalkan bila seseorang dalam kurun waktu tertentu “biasanya mengurus rumah tangga (ibu rumah tangga)”, tetapi pada saat pencacahan sedang mencari pekerjaan, maka dalam konsep GWA ini akan dicatat ke dalam kategori ibu rumah tangga. Konsep ini cenderung menghasilkan angka pengangguran terbuka (sedang mencari pekerjaan) relatif kecil.
*        Labour force approach (LFA), adalah pendekatan berdasarkan kegiatan dalam kurun waktu tertentu (seminggu yang lalu). Dalam pendekatan ini seluruh penduduk dalam kelompok umur tertentu dan dalam kurun waktu tertentu dikelompokkan menjadi 2 kelompok yakni mereka yang termasuk kedalam angkatan kerja (labour force) dan bukan angkatan kerja.
LFA paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia dalam pengumpulan data ketenagakerjaan. BPS sebagai salah satu lembaga resmi pemerintah yang mendapat tugas mengumpulkan data ketenagakerjaan mememakai referensi waktu kegiatan seminggu yang lalu sebelum pencacahan. Dikatakan bekerja bila seseorang dalam seminggu yang lalu bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan (nafkah).
Dengan demikian, mereka yang bekerja sekedarnya saja atau turut membantu orang tua dalam bekerja jika memenuhi syarat tersebut sudah dianggap bekerja (employed). Sedangkan yang dikategorikan pengangguran (unemployed) adalah mereka yang tidak bekerja sama sekali dan yang sedang mencari pekerjaan. Pengertian ini adalah pengertian pengangguran terbuka (open unemployement).
Untuk mengatasi kelemahan dari LFA di atas, diadakan pendekatan baru oleh para ahli demografi (diantaranya Prof. Philip M. Hauser) yang disebut Labour Utilization Approach (LUA). LUA merupakan penyempurnaan dan penyesuaian konsep LFA untuk negara-negara agraris. Penyempurnaan yang dilakukan hanya pada kelompok angkatan kerjanya. Mereka yang bekerja dibagi menjadi 2 yaitu: fully employed (fully utilized) dan under employed (under untilized). Kelompok yang termasuk under utilized kemudian dibagi lagi menjadi 3 yaitu: under utilized by hour, under utilized by income, dan under utilized by mismatch. Sedangkan kelompok angkatan kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan yang biasanya disebut penganggur dalam konsep LUA  disebut “fully unemployed” atau “fully unutilized”.
Berikut akan disajikan beberapa konsep yang sering digunakan dalam pengukuran ketenagakerjaan, namun sebelum itu dapat dilihat dua diagram konsep tenaga kerja.

Gambar 1. Diagram Konsep Tenaga Kerja

Gambar 2. Diagram Labor Utilization Aproach


1.    Angkatan Kerja (labor force)
Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun keatas) yang bekerja, atau punya pekerjaan sementara tidak bekerja, dan pengangguran. Indikator ini berguna untuk mengetahui jumlah penduduk yang berpotensi untuk bekerja. Rumus matematis angkatan kerja menurut Bellante dan Jackson (1983:404) yaitu :

Angkatan Kerja (L) = Bekerja (N) + Tidak Bekerja (U)
 
 2.    Bukan Angkatan Kerja (not in labor force)
Bukan angkatan kerja adalah bagian dari penduduk usia kerja yang tidak mempunyai atau melakukan aktivitas ekonomi (tidak masuk angkatan kerja). Kelompok ini mencakup penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainya (pensiunan, penerima transfer, atau alasan lain).
3.    Tenaga Kerja
Tenaga kerja dari istilah “man power” yakni seluruh penduduk yang dianggap mempunyai potensi untuk bekerja secara produktif (Sisdjiatmo Kusumosuwidho,2010). Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja didefinisikan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik yang memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
4.    Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja mengandung pengertian lapangan pekerjaan dan kesempatan untuk bekerja, yang ada dari suatu kegiatan ekonomi (produksi). Kesempatan kerja juga dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana terdapat ketersediaan pekerjaan untuk diisi oleh para pencari kerja, yaitu angkatan kerja. Dengan demikian kesempatan kerja adalah lapangan pekerjaan yang sudah diduduki dan masih lowong. Sedangkan menurut Sukirno (2000:68) kesempatan kerja merupakan sebagai suatu keadaan dimana semua pekerja yang ingin bekerja pada suatu tingkat upah tertentu akan dengan mudah mendapat pekerjaan.
5.    Pengangguran
Pengangguran adalah masalah makro ekonomi yang mempengaruhi manusia secara langsung dan merupakan masalah yang paling berat yang akan menyebabkan penurunan standar kehidupan dan tekanan psikologis (Mankiw, 2007:154). Konsep pengangguran terbuka yang digunakan BPS terdiri atas: mereka yang mencari pekerjaan (baik yang belum pernah bekerja maupun yang sudah pernah bekerja), mereka yang sedang mempersiapkan usaha baru yang ditandai dengan tindakan nyata seperti mengurus izin usaha misalnya, discourage workers (menyerah dalam mencari pekerjaan karena tidak kunjung mendapatkannya), serta mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja dari sejumlah angkatan kerja yang ada.
Menurut sebab terjadinya, pengangguran dapat digolongkan kepada tiga jenis yaitu:
a.    Pengangguran Friksional, pengangguran yang terjadi karena kesulitan temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang ada. Kesulitan temporer ini dapat berbentuk sekedar waktu yang diperlukan selama prosedur pelamaran dan seleksi, atau terjadi karena faktor jarak atau kurangnya informasi.
b.    Pengangguran Struktural, terjadi karena ada problema dalam struktur atau komposisi perekonomian. Perubahan struktur yang demikian memerlukan perubahan dalam keterampilan tenaga kerja yang dibutuhkan sedangkan pihak pencari kerja tidak mampu menyesuaikan diri dengan ketrampilan baru tersebut.
c.    Pengangguran Musiman, terjadi karena pergantian musim. Di luar musim panen dan turun ke sawah, banyak orang yang tidak mempunyai kegiatan ekonomis, mereka hanya sekedar menunggu musim yang baru.

 6.    Upah
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Sedangkan menurut Sukirno (2006:58), upah diartikan sebagai Pembiayaan jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Dengan demikian dalam teori ekonomi tidak dibedakan antara pembayaran atas jasa-jasa tetap dan profesional dengan pembayaran atas jasa-jasa pekerja kasar dan tidak tetap.
7.    Teori Pasar Tenaga Kerja
Bellante (1990) menyatakan bahwa permintaan tenaga kerja pasar dan penawaran tenaga kerja pasar secara bersama menentukan suatu tingkat upah keseimbangan dan suatu penggunaan tenaga kerja keseimbangan. Dalam keseimbangan semua pelaku ekonomi harus melakukan penyesuaian terhadap keadaan ekonomi sebagaimana adanya. Menurut Mankiw (2003:150), beberapa hal yang menyebabkan pergeseran kurva permintaan tenaga kerja adalah : 
a.    Harga output, Nilai produk marjinal adalah produk marjinal dikali harga output perusahaan. Jadi ketika harga outputnya berubah, nilai produk marjinalnya pun berubah dan kurva permintaan tenaga kerjanya bergeser.
b.    Perubahan teknologi, Kemajuan teknologi akan meningkatkan produk marjinal tenaga kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan tenaga kerja.
c.    Penawaran faktor-faktor produksi lainnya, Kuantitas yang tersedia dari suatu faktor produksi dapat berpengaruh terhadap produk marjinal faktor-faktor produksi lainnya.
II. B.  Fenomena Ketenagakerjaan dan kaitannya dengan aspek lain Indonesia
Fenomena ketenagakerjaan tidak terlepas dari pengaruh kondisi perekonomian di indonesia. Untuk dapat melihat hubungan aspek ketenagakerjaan dengan aspek lain khusunya dalam perekonomian di indonesia akan disajikan dua contoh korelasi data indikator ekonomi dan ketenagakerjaan sebagai ilustrasi gambaran ketenagakerjaan di indonesia.

a)      Pengangguran dan inflasi
Dua tujuan yang ingin dicapai para pembuat kebijakan ekonomi adalah inflasi dan pengangguran yang rendah, tetapi seting kali kedua tujuan itu bertentangan. Trade off antara inflasi dan pengangguran dikenal dengan phillips curve (kurva phillips). Kurva phillips menyatakan ada hubungan yang bertentangan antara inflasi dan pengangguran dimana penurunan inflasi menyebabkan peningkatan pengangguran begitu juga sebaliknya. Untuk menguji teori tersebut apakah berlakudi Indonesia kita lakukan analisis korelasi pada kedua aspek tersebut.
Tabel 1. Persentase tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan
Inflasi Indonesia Tahun 2005-2015
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
TPT (%)
11,24
10,28
9,11
8,39
7,87
7,14
7,48
6,13
6,17
5,94
6,18
Inflasi (%)
17,11
6,6
6,59
11,06
2,78
6,96
3,79
4,3
8,38
8,36
3,35
Sumber : Badan Pusat Statistik, ditulis ulang oleh penulis

Gambar 3. Hubungan Korelasi TPT dan Inflasi
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah oleh penulis

Gambar 3. disamping menunjukkan adanya pertentangan antara konsef kurva phillips dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Data tersebut memperlihatkan hubungan yang positif antara kedua aspek, meskipun hubungan korelasi tidak besar.

b)      Pengangguran dan kemiskinan
Aspek lain yang juga sering disandingkan adalah pengangguran dan kemiskinan. Sering kali nilai angka pengangguran dihubungkan dengan aspek kesejahteraan dan kemiskinan. Meskipun sebenarnya sudah banyak teori yang membantah hal tersebut khususnya pada negara berkembang yang tidak memiliki tunjangan pengangguran. Hal ini disebabkan pekerja yang terserap dalam dunia kerja belum tentu memiliki penghasilan yang mampu mengangkat taraf hidup mereka. Untuk lebih jelas kita lihat dari data berikut ini.

Tabel 2. Persentase tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan
Penduduk Miskin Indonesia Tahun 2005-2015
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
TPT (%)
11,24
10,28
9,11
8,39
7,87
7,14
7,48
6,13
6,17
5,94
6,18
Miskin (%)
16,69
17,75
16,58
15,42
14,15
13,33
12,36
11,66
11,47
10,96
11,13
Sumber : Badan Pusat Statistik, ditulis ulang oleh penulis

Gambar 4. Hubungan Korelasi TPT dan kemiskinan
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah oleh penulis

Fenomena menarik terlihat dari data persentase TPT dan persentase penduduk miskin Indonesia periode 2005-2015. Berdasarkan analisis korelasi kedua variabel terlihat hubungan positif yang sangat besar diantara variabel dengan R2 mencapai 89,18%. Terlihat peniningkatan TPT diikuti dengan peningkatan penduduk miskin. Akan tetapi harus dilaksanakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah terdapat hubungan sebab akibat di antara kedua variabel karena analisis korelasi tidak mampu menjelaskan  hubungan sebab akibat.

II. C. Kesiapan Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi Bonus Demografi dan Masyarakat Ekonomi Asean
Ledakan penduduk usia kerja pada fenomena bonus demografi yang telah berjalan sekitar satu dekade terakhir memberikan keuntungan ekonomi apabila dapat dimanfaatkan dengan baik. Peningkatan penawaran tenaga kerja (labor supply) yang besar menjadi permasalahan tersendiri di pasar tenaga kerja. Bonus demografi yang masih terus berjalan dan baru mencapai puncaknya sekitar tahun 2020-2030 yang dikenal dengan jendela peluang (the windows of opportunity) akan terus menambah stok supply tenaga kerja. Sehingga fenomena ini harus diikuti dengan penyediaan lapangan usaha yang lebih besar di dalam negeri untuk dapat menampung ledakan penduduk usia produktif tersebut.
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seolah menambah beban bonus demografi di Indonesia. Pelaksanaan MEA memicu serbuan tenaga kerja asing ke Indonesia. Berdasarkan data BPS selama Januari 2016, sekitar 25 ribu warga negara asing (WNA) masuk ke Indonesia untuk bekerja di berbagai sektor usaha. Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) selama Januari 2016 lalu mencapai 814.303 orang. Mereka terbagi atas tiga jenis kunjungan. Pertama, wisatawan reguler sebanyak 740.570 orang. Kedua, WNA yang masuk melalui Pos Lintas Batas sebanyak 35.741 orang. Ketiga, yang paling menarik, WNA yang berkunjung ke Indonesia kurang dari setahun mencapai 37.992 orang. Dari jumlah tersebut, yang tujuannya bekerja paruh waktu mencapai 25.238 orang. Angka tersebut melonjak 69,3 persen dibandingkan Januari 2015. Bahkan, jika dibandingkan Desember 2015, jumlahnya meningkat 73,46 persen.
Kedua fenomena ini sangat mempengaruhi iklim pasar tenaga kerja di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana pemerintah dalam mempersiapkan dan mengantisipasi kedua fenomena ini. Disatu sisi bonus demografi terus menambah supply penduduk usia kerja yang harus dipersiapkan kesempatan kerjanya. Belum tuntas pemenuhan kesempatan kerja dari bonus demografi tersebut pelaksanaan MEA turut menyumbang supply tenaga asing yang siap menyerbu pasar tenaga kerja di Indonesia. Selanjutnya persaingan dan kompetisi di pasar tenaga kerja akan terus meningkat dan angkatan kerja yang tidak siap dan tidak berdaya saing akan tersingkir. Pada akhirnya akan menambah panjang jumlah pengangguran terbuka di negeri ini. Tingkat pengangguran terbuka yang tinggi dapat menjadi pemicu terjadinya kemiskinan dan kerawanan sosial. Bonus demografi yang diharapkan memberikan nilai ekonomis tersebut justru menjadi bumerang yang akan menimbulkan masalah baru.
Terdapat beberapa persiapan dan solusi antisipasi yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi dua fenomena besar ini. Solusi dan persiapan tersebut antara lain :
1.      Peningkatan modal manusia
Peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah upaya meningkatkan kualitas manusia yang menyangkut pengembangan aktivitas dalam bidang pendidikan dan latihan. Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam mengembangkan kecerdasan, kemampuan, pengetahuan, soft skill, dan keterampilan (technical skill) melalui pendidikan dan pelatihan yang baik.
Pendidikan dan pelatihan tersebut termasuk kedalam salah satu investasi pada bidang sumber daya manusia, yang mana investasi tersebut dinamakan dengan Human Capital (teori modal manusia). Dengan mutu modal manusia yang baik tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja domestik dari gempuran pekerja asing bahkan mampu bersaing untuk merebut pasar tenaga kerja diluar negeri. Indonesia tidak lagi mengirimkan tenaga kerja tidak terdidik ke luar negeri melainkan tenaga kerja profesional yang lebih produktif dan bernilai jual tinggi.

2.      Meningkatkan daya tarik investasi
Selain pasar tenaga kerja, MEA juga memacu pertumbuhan investasi baik dari luar maupun dalam negeri. Indonesia harus meningkatkan daya tarik agar pihak investor luar mau berinvestasi di Indonesia yang secara tidak langsung akan membuka lapangan pekerjaan baru di dalam negeri. Usaha peningkatan daya tarik bukan berarti penjualan lahan dan sumber daya alam secara besar-besaran. Akan tetapi lebih kepada peningkatan kualitas birokrasi (good governance) dan peluang industri kreatif dan padat karya.
I.              PENUTUP
Ketenagakerjaan merupakan salah satu indikator penting dalam pembangunan. Memahami konsep dan teori ketenagakerjaan membantu kita dalam melakukan kajian terhadap kondisi ketenagakerjaan di suatu negara. Perbedaan geografis, Kebijakan, dan perilaku antar negara menyebabkan teori-teori ketenagakerjaan tidak dapat berlaku secara universal di seluruh negara. Dengan menggunakan contoh angka pengangguran dan inflasi Indonesia periode 2005-2015 diperoleh informasi bahwa pola kurva phillips tidak berlaku di Indonesia.
Adanya fenomena bonus demografi dan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean adalah sebuah anugrah dan peluang besar yang dapat dipetik untuk pembangunan dan kemajuan Indonesia. Akan tetapi peluang besar ini jika tidak dipersiapkan dan di antisipasi secara tepat dapat menjadi bumerang dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia. Beberapa solusi yang dapat di laksanakan dalam rangka mempersiapkan Indonesia menghadapi kedua fenomena ini adalah peningkatan modal manusia dan peningkatan daya tarik investasi.


Jakarta, 21 Oktober 2016


  
DAFTAR PUSTAKA

Adioetomo, Sri Moertiningsih. 2005. Bonus Demografi Menjelaskah Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi UI.
Adioetomo, Sri Moertiningsih, Lalu Burhan, Nizam Yunus. 2010. Seratus Tahun  Demografi Indonesia. Mengubah Nasib Menjadi Harapan. BKKBN & LDFEUI.
Ananta, Aris. 1986. Mutu Modal Manusia: Suatu Pemikiran mengenai Kualitas Penduduk. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI.
Bellante, Don Jackson Mark. 1983. Ekonomi Ketenagakerjaan. Jakarta: FE UI
Brunello, Giorgio. 1999.Unemployment, Education, and Earnings Growth.Jurnal Economics Labor. Italy : Padova University.
Dasar-dasar Demografi. 2010. Editor: Sri Moertiningsih Adioetomo & Omas Bulan Rajagukguk. Lembaga Demografi FE-UI. Edisi Kedua. Salemba Empat.
Harjanto, Totok. 2014. Pengangguran dan Pembangunan Nasional. Jurnal Ekonomi Vol 2. Januari-April. Hal 68
Kabaklarli Esra, Perihan Hazel Er, and Abdul Kadir Bulus. 2011. Economic Determinant of Turkish Youth Unemployment Problem : Cointegration Analysis. International Conference on Applied Economics. Page 1-8
Mankiw, Gregory. 2007. Teori Makro Ekonomi; Edisi ke 6. Jakarta: Erlangga
Maryati, Sri. 2015. Dinamika Pengangguran Terdidik : Tantangan Menuju Bonus Demografi di Indonesia. Journal of economic & Economic Education . Vol 3. Hal (124-136)
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Saliman. 2005. Dampak Krisis Terhadap Ketenagakerjaan Indonesia . Jurnal Ekonomi dan Pendidikan Vol 2.
Simanjuntak, Payaman. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia; Edisi ke 2. Jakarta: LPFE UI.
Simanjuntak, Payaman. J. 2001. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia.
Jakarta : Lembaga Penerbit Universitas Indonesia.
Sukirno, Sadono. 2006. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Todaro, Michael dan Stephen Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ke 8. Jakarta:Erlangga